astakom, Jakarta – Pemerintah Indonesia bersiap mengukir babak baru dalam perdagangan energi, kali ini dengan mengirimkan listrik berbasis Energi Baru dan Terbarukan (EBT) ke Singapura. Langkah ini tidak hanya menandai kemitraan strategis antarkedua negara, tapi juga membuka peluang ekonomi besar bagi Indonesia di bidang energi hijau.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa listrik yang akan diekspor bersumber dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), serta energi terbarukan lainnya seperti angin dan air.
“Nanti Pemerintah Singapura bersama-sama dengan Indonesia membangun kawasan industri bersama. Ini agar kita maju bersama-sama, kita bangun industri hilirisasi, dan saudara kita di Singapura kita kirim EBT,” ujar Bahlil dalam keterangannya, dikutip astakom.com, Jumat (13/6).
Menurut Bahlil, proyek ekspor listrik ini membuka potensi investasi jumbo, yakni senilai USD30-50 miliar atau setara Rp489 hingga Rp815 triliun untuk pembangunan pembangkit tenaga surya. Di luar itu, ada peluang tambahan sebesar USD2,7 miliar untuk sektor manufaktur panel surya dan Battery Energy Storage System (BESS).
Tak hanya investasi, potensi pemasukan negara dari ekspor listrik hijau ini juga sangat signifikan. Pemerintah memperkirakan akan meraup devisa senilai USD4-6 miliar per tahun, serta tambahan penerimaan negara hingga USD600 juta per tahun.
Kemudian dari sisi ketenagakerjaan, proyek ini dirancang menyerap tenaga kerja besar-besaran. “Serapan tenaga kerja ditargetkan mampu menyerap 418 ribu pekerja di bidang manufaktur, konstruksi, operasi, dan pemeliharaan panel surya dan BESS,” ungkap Bahlil.
Singapura sendiri diprediksi membutuhkan pasokan listrik hijau sebesar 3 gigawatt (GW). Namun, angka ini dapat terus bertambah, seiring pertumbuhan permintaan industri dan rumah tangga.
Meski fokus pada ekspor, Bahlil menegaskan bahwa sebagian energi hijau tetap akan dialokasikan untuk kebutuhan dalam negeri. “Di dalam negeri itu untuk meng-cover industri hijau. Jadi, tidak semuanya diekspor, tapi sebagian untuk konsumsi dalam negeri, untuk industri yang orientasi pada hilirisasi,” katanya.
Ke depan, Indonesia juga membuka peluang kerja sama serupa dengan negara lain. Namun dalam hal ini, Bahlil menegaskan bahwa kerja sama akan tetap berlandaskan pada prinsip kesetaraan yang saling menguntungkan.
“Kita akan membuka selama itu saling menguntungkan, sekali lagi, yang namanya kerja sama itu harus saling menguntungkan. Win-win itu 50-50, bukan 70-30. Itu yang selama ini saya bernegosiasi terus dengan Singapura agar harus saling menguntungkan,” tegasnya.