astakom, Jakarta – Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menyuarakan keinginannya untuk merubah metode perhitungan garis kemiskinan nasional. Menurutnya, wacana perubahan metode sudah masuk dalam pembahasan pemerintah.
Sebab menurutnya, metode yang ada saat ini sudah tak lagi mencerminkan realitas masyarakat Indonesia yang terus berkembang.
Baca juga
“Sudah kami bicarakan sejak beberapa waktu lalu, bahwa kita harus merevisi angka (perhitungan garis kemiskinan) ini,” ujarnya dalam agenda International Conference on Infrastructure (ICI) 2025 di Jakarta, dikutip astakom.com, Kamis (12/6).
Kendati demikian, Luhut menegaskan, bahwa usulannya tersebut tidak seharusnya diartikan sebagai hal yang buruk. Justru, kata dia, perubahan ini dilakukan agar lebih mencerminkan realitas masyarakat Indonesia yang terus berkembang.
“Ini bukan menandakan tidak baik, tapi memang angka ini perubahannya harus betul-betul dilihat lagi,” tegas Luhut.
Ia menegaskan bahwa pihaknya di Dewan Ekonomi Nasional tengah berkoordinasi aktif dengan Badan Pusat Statistik (BPS) selaku otoritas terkait, guna mengkaji ulang metode pengukuran garis kemiskinan yang berlaku saat ini.
Nantinya, hasilnya akan diserahkan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk mendapatkan persetujuan akhir.
“Balik lagi, angka kemiskinan itu sama seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan program food estate. Semua itu tidak menjadi isu yang tidak bisa diselesaikan,” ujar Luhut.
Meski belum merinci target penyelesaian revisi tersebut, namun mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) itu menyebut, bahwa hasil final dari revisi itu akan diumumkan langsung oleh Presiden Prabowo.
Sekadar informasi, bahwa dorongan pembaruan metode perhitungan ini muncul setelah Bank Dunia merilis laporan June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform.
Laporan tersebut menggunakan paritas daya beli (PPP) 2021, yang meningkatkan ambang batas kemiskinan bagi negara berpendapatan menengah atas, dari yang sebelumnya 6,85 dolar AS, menjadi 8,30 dolar AS.
Dengan standar baru itu, Bank Dunia menyebut sebanyak 68,25 persen penduduk Indonesia tergolong miskin. Angka ini jauh berbeda dengan versi perhitungan resmi dari pemerintah melalui BPS.
Meski begitu, BPS sebelumnya sudah memberikan klarifikasi, bahwa garis kemiskinan versi Bank Dunia didasarkan pada median 37 negara dan tidak spesifik mencerminkan kebutuhan hidup masyarakat Indonesia.
Adapun untuk metode perhitungan BPS sendiri berlandaskan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan dua kali setahun, dengan menghitung kebutuhan dasar makanan dan non-makanan.