astakom, Jakarta – Isu panas terkait kemungkinan TNI AU membeli jet tempur J-10C buatan China akhirnya mendapat respons langsung dari Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Mohamad Tonny Harjono.
Dalam keterangannya kepada media di Mabes TNI AU, Cilangkap, Selasa (27/5), ia tidak menampik bahwa opsi tersebut sedang menjadi pertimbangan serius.
Baca juga
“Ada pandangan ke sana. Jadi untuk penentuan alat utama sistem senjata (alutsista) juga tidak hanya, ‘ya saya beli’,” ujar Marsekal Tonny dalam keterangannya seperti yang dikutip astakom, Jimat (30/5).
Menurut Tonny, setiap keputusan terkait pembelian alutsista harus melewati tahapan strategis, termasuk kajian dari Dewan Penentu Alutsista (Wantuwanda).
Forum tersebut menilai berbagai aspek, mulai dari kecocokan teknis alutsista dengan kebutuhan pertahanan negara, hingga pertimbangan politik luar negeri.
Sebagai negara nonblok yang tidak berpihak ke kekuatan global manapun, Indonesia dinilai memiliki ruang gerak yang cukup luas dalam menjalin kerja sama pertahanan dengan berbagai negara.
“Kita juga negara non-aligned, tidak berpihak ke salah satu blok. Dari mana saja kita bersahabat baik,” lanjut Tonny menegaskan posisi netral Indonesia.
KSAU juga menegaskan bahwa kewenangan akhir terkait pembelian alutsista ada di tangan pemerintah melalui Kementerian Pertahanan (Kemhan).
“Jadi apa yang menjadi alutsista yang diberikan kepada Angkatan Udara, kami sebetulnya menunggu dari kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertahanan,” jelasnya.
Jet tempur J-10C, produk andalan industri pertahanan China, mulai menjadi sorotan publik setelah diklaim berhasil digunakan oleh penerbang Pakistan untuk menembak jatuh lima pesawat India, termasuk tiga unit Rafale buatan Prancis.
Hal ini memicu diskusi hangat, terlebih Indonesia sendiri saat ini tengah dalam proses pengadaan 42 unit jet tempur Rafale, kontrak yang mulai berjalan sejak 2024 lalu.
J-10C disebut-sebut memiliki teknologi radar AESA, kemampuan manuver tinggi, dan sistem avionik modern—yang dinilai sepadan dengan beberapa pesawat generasi 4.5 lainnya.
Potensi ini membuatnya menjadi salah satu kandidat yang cukup menarik bagi penguatan armada udara Indonesia.
Dengan menjunjung tinggi prinsip nonblok dan diplomasi bebas aktif, TNI AU membuka opsi untuk berbagai platform alutsista dari beragam negara.
Langkah ini sejalan dengan kebutuhan memperkuat pertahanan nasional tanpa terjebak dalam konflik kepentingan geopolitik global.
Meski belum ada keputusan final, pernyataan terbuka KSAU menandai babak baru dalam diskusi modernisasi kekuatan udara Indonesia dengan strategi fleksibel, berbasis kebutuhan, dan tetap menjaga kepentingan nasional sebagai prioritas utama.