astakom, Nusa Dua, Bali – Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Wamen PPPA), Veronica Tan, menegaskan pentingnya aksi kolektif antarnegara kawasan dalam menghadapi kejahatan eksploitasi seksual terhadap anak.
Hal itu ia sampaikan saat membuka Child Sexual Exploitation Regional Dialogue (CSERD) yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, pada Selasa (27/5).
Baca juga :
Tidak ada rekomendasi yang ditemukan.
”Kejahatan ini lintas batas. Tidak ada satu negara pun yang bisa menanganinya sendirian. Kita perlu kekuatan kolektif kawasan untuk memastikan anak-anak kita tumbuh aman, merdeka, dan terlindungi, terutama di era digital yang semakin kompleks,” tegas Veronica seperti dikutip astakom.com, Rabu (28/5).
Wamen PPPA juga menyoroti pentingnya membangun sistem perlindungan yang benar-benar terintegrasi dan berorientasi pada korban.
Kementerian PPPA, menurutnya, telah memperkuat sistem pelaporan dan layanan darurat melalui SAPA129, serta terus mendorong penyedia layanan di daerah untuk meningkatkan respons terhadap kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia.
Sistem ini, lanjut Veronica, dapat diakses masyarakat secara mudah melalui Call Center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129, WhatsApp di nomor 0811-129-129, aplikasi mobile, dan situs web: https://laporsapa129.kemenpppa.go.id.
“Kita tidak bisa membiarkan ruang digital hanya diisi oleh konten negatif. Kita harus menciptakan arus balik dengan menghadirkan konten yang membangun karakter, nilai moral, dan masa depan anak-anak kita. Ini adalah bagian dari kekuatan kolektif kita,” tambah Wamen PPPA.
Tak hanya itu, Wamen PPPA juga mengungkap isu-isu sensitif yang kini mulai terangkat ke permukaan, seperti kasus inses dalam keluarga, pernikahan anak yang dibenarkan atas nama budaya, serta melemahnya relasi antara orang tua dan anak akibat dominasi informasi digital.
“Ketika anak-anak dan penyintas mulai berani bicara, negara tidak boleh diam. Inilah saatnya bertindak. Forum ini adalah ruang untuk merumuskan langkah nyata bersama, bukan sekadar diskusi,” tutup Wamen PPPA.
Duta Besar Australia untuk Indonesia, Roderick Brazier, yang juga hadir dalam forum tersebut, menyampaikan bahwa Australia telah mengembangkan strategi nasional untuk melawan eksploitasi seksual anak.
Di antaranya, pembentukan ACCCE (Australian Centre to Counter Child Expliotation) dan penerapan kebijakan batas usia minimum penggunaan media sosial guna melindungi anak-anak di ruang digital dan dunia nyata.
“Tidak ada satu negara pun yang kebal dari eksploitasi seksual anak. Karena itu, kami mendorong kolaborasi lebih erat antara pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat sipil di kawasan. Forum ini bukan hanya ruang berbagi praktik baik, tetapi deklarasi sikap kolektif untuk bertindak,” ungkap Roderick Brazier.
Forum CSERD ini menjadi tonggak penting kerja sama regional untuk mendorong aksi konkret dan nyata dalam melindungi anak-anak dari segala bentuk kekerasan berbasis daring. Kementerian PPPA akan terus berkomitmen memperkuat sistem perlindungan berbasis penyintas dan memperluas jejaring kerja sama kawasan.
Forum ini juga dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, di antaranya Brigadir Jenderal Polisi Nurul Azizah selaku Direktur Tindak Pidana Perempuan dan Anak serta Tindak Pidana Perdagangan Orang (Dirtipid PPA-PPO) Bareskrim Polri, dan Helen Schneider selaku Komandan ACCCE.