Astakom, Jakarta – Perum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (LPPNPI) atau AirNav Indonesia secara resmi meluncurkan sistem pelayanan pemanduan pesawat udara berbasis surveilans untuk wilayah ruang udara Papua, Kamis (15/5).
Direktur Operasi AirNav Indonesia, Setio Anggoro menyatakan, peluncuran ini dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan kualitas layanan navigasi udara di kawasan timur Indonesia melalui transformasi teknologi.
Baca juga
”Transformasi ini diyakini akan membawa dampak besar terhadap keselamatan, efisiensi, dan kapasitas lalu lintas penerbangan di wilayah tersebut,” ujar Dirop AirNav.
Selanjutnya Setio Anggoro, menjelaskan bahwa peningkatan layanan ini bertujuan mewujudkan ruang udara nasional yang seamless dengan menyeragamkan pelayanan dari pendekatan prosedural (non-surveillance) menjadi berbasis surveillance, didukung teknologi yang sesuai dengan kebutuhan.
”Dampak yang ingin kita capai adalah meningkatnya kualitas keselamatan, kapasitas, dan efisiensi layanan penerbangan.
“Khususnya pada ruang udara Biak, Sorong, dan Timika, yang kini dikelola secara terpusat oleh Jayapura APP,” jelas Setio Anggoro.
Setio menambahkan, bahwa program ini merupakan bagian dari implementasi Roadmap Operasi 2022–2026, sejalan dengan Rencana Investasi Jangka Panjang (RIJP) AirNav Indonesia, dan mendukung realisasi Global Air Navigation Plan (GANP) yang diinisiasi ICAO.
Salah satu inisiatif utamanya adalah peningkatan pelayanan surveillance di ruang udara lapis bawah (lower airspace).
“Ini adalah bentuk komitmen kami untuk menghadirkan pelayanan navigasi penerbangan yang andal, modern, dan memenuhi standar keselamatan penerbangan, sebagaimana diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2012,” jelasnya.
Melalui penerapan sistem surveillance ini, setidaknya didapat lima perubahan signifikan yang diharapkan: Peningkatan akurasi pemanduan; Efisiensi pengelolaan lalu lintas udara; Reduksi waktu dan biaya operasional maskapai; Respons terhadap kondisi darurat lebih cepat.
Terakhir, Optimalisasi kapasitas ruang udara. Dengan surveilans, separasi antar pesawat dapat ditetapkan berdasarkan jarak (misalnya 5 NM atau 2–3 menit), jauh lebih efisien dibanding pendekatan non-surveillance yang memerlukan separasi waktu 10–15 menit.
“Ini berarti akan lebih banyak pesawat yang dapat dilayani di ruang udara yang sama. Inisiatif ini tidak hanya mencerminkan peningkatan teknologi dan kapabilitas operasional kami, tetapi juga menjadi bentuk nyata komitmen AirNav Indonesia dalam mendukung pengembangan ekonomi dan pariwisata di Papua dan sekitarnya,” pungkas Setio Anggoro.