astakom, Jakarta – Menanggapi dinamika industri kreatif yang semakin kompleks, Kementerian Ekonomi Kreatif (Kemenekraf) bersama Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) tengah mengkaji pembaruan kebijakan perlindungan hak cipta, khususnya terkait sistem lisensi dan pembayaran royalti.
Inisiatif ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah untuk menciptakan ekosistem ekonomi kreatif yang adil, berkelanjutan, dan responsif terhadap perubahan zaman.
Baca juga
Menteri Ekonomi Kreatif (Menekraf), Teuku Riefky Harsya, mengatakan bahwa upaya ini mendukung visi pemerintahan Prabowo-Gibran dalam Asta Cita ketiga, yang berfokus pada penguatan industri kreatif nasional.
Selain itu, hal ini juga menjadi bagian dari delapan prioritas sektor ekonomi kreatif atau Asta Ekraf, dengan fokus pada “Ekraf Kaya” yang mengutamakan perlindungan kekayaan intelektual, serta “Ekraf Bijak” yang mengarah pada penguatan regulasi dan kelembagaan di sektor ini.
“Upaya ini sejalan dengan visi kami untuk memperkuat industri kreatif, terutama di bidang musik, agar lebih sehat dan berkeadilan. Salah satu langkah penting adalah memperbaiki sistem royalti agar para pencipta lagu dan pelaku kreatif lainnya mendapatkan hak mereka secara adil,” ujar Riefky yang dikutip astakom.com dari siaran pers, Jumat (25/4).
Sebagai bagian dari perancangan kebijakan, Kemenekraf turut membantu Kemenkum HAM dalam menyusun policy brief untuk revisi Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) 2024.
Kajian kualitatif yang dilakukan sepanjang tahun 2024 melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk komposer, asosiasi profesi, dan lembaga kolektif. Hasil kajian ini akan digunakan untuk memperbaharui regulasi hak cipta agar lebih adaptif dengan perkembangan industri kreatif.
Kemenekraf juga mengusulkan skema pembayaran royalti yang lebih transparan dan proporsional. Salah satu usulan yang dibahas adalah tarif royalti sebesar 10 persen dari honorarium artis, yang kemudian akan dibagi secara proporsional kepada komposer berdasarkan jumlah lagu yang dibawakan.
Royalti ini akan dimasukkan dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB) acara sebagai komponen tersendiri, baik dalam biaya produksi maupun riders.
“Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan bahwa hak cipta di industri musik terlindungi dengan baik, dan semua pihak mendapatkan keuntungan yang adil. Selain itu, kami juga mendorong pembuatan platform digital nasional untuk mempermudah pencatatan dan pembayaran royalti,” tambah Riefky.
Kemenekraf berharap dengan kebijakan baru ini, ekosistem industri musik Indonesia akan semakin sehat dan berkeadilan. Diharapkan pula, kebijakan ini bisa memberikan insentif yang layak bagi para pelaku kreatif dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional, yang diperkirakan dapat meningkat hingga 8 persen pada tahun 2029.
Selain itu, dalam jangka panjang, Kemenekraf berencana untuk memperluas pembaruan hak cipta ini ke sektor lainnya, termasuk film, gim, dan buku. Langkah ini diharapkan dapat memberikan perlindungan hak cipta yang lebih menyeluruh bagi seluruh industri kreatif di Indonesia.
Dalam acara tersebut, turut hadir Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Kemenkum HAM, Direktur Pengembangan Fasilitasi Kekayaan Intelektual Kemenekraf, serta perwakilan dari berbagai organisasi dan asosiasi, antara lain Vibrasi Suara Indonesia (VISI), Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Federasi Serikat Musik Indonesia (FESMI), dan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (PAPRI).