astakom, Jakarta-Dari balik kabut dan dinginnya angin di puncak Gunung Lawu, kabar duka datang menghentak: Mbok Yem, penjaga satu-satunya warung di Hargo Dumilah, telah berpulang. Sosok yang begitu akrab di kalangan para pendaki itu tutup usia di umur 82 tahun, Rabu, (23/4), pukul 15.30 WIB, di rumahnya di Dusun Dagung, Desa Gonggang, Kecamatan Poncol, Magetan, Jawa Timur.
Kepergian perempuan sepuh bernama Wakiyem ini seolah mengangkat sepotong jiwa dari gunung yang selama lebih dari tiga dekade ia rawat dengan sepenuh hati. Warungnya, yang berdiri kokoh di ketinggian sekitar 3.265 meter di atas permukaan laut (dianggap oleh para pendaki sebagai warung tertinggi di Indonesia), bukan sekadar tempat makan biasa. Ia adalah rumah, pelukan hangat, dan secangkir teh manis yang menguatkan langkah para pendaki.
Baca juga
Turun Gunung Terakhir
Menurut Agus, Kepala Dusun Cemoro Sewu, sejak sebelum Ramadan, kondisi kesehatan Mbok Yem terus menurun hingga harus dirawat di RSUD Ponorogo. Ia pun akhirnya turun gunung, ditandu enam orang pendamping. Sebuah pemandangan langka, karena biasanya Mbok Yem hanya meninggalkan puncak menjelang Lebaran.
Namun kali ini berbeda. Ia pulang lebih awal, membawa rindu dan tanda-tanda perpisahan. Rumah duka segera dipadati warga, para pendaki, dan mereka yang pernah menyapanya, meski hanya sekali.
“Mbok Yem bukan hanya pemilik warung, tapi penjaga semangat,” ujar salah seorang pendaki yang datang melayat.
Niat yang Tak Sampai
Cucunya, Syaiful Gimbal, mengisahkan bahwa Mbok Yem sempat berbicara soal keinginannya untuk beristirahat, menikmati waktu bersama keluarga, terutama menjaga cucu di rumah.
Ia merasa waktunya di puncak sudah cukup. Tongkat estafet warung akan ia wariskan. Namun meski tubuhnya melemah, harapan sempat membuncah ketika kondisinya membaik. Hingga Tuhan punya kehendak lain.
Lebih dari Sekadar Warung
Bagi para pendaki, Warung Arga Dalem adalah tempat yang magis. Di tengah dingin dan lelah yang menggigit, ada mi instan, teh panas, dan senyum tulus Mbok Yem yang selalu menenangkan.
Mbok Yem bukan sekadar penjual makanan. Ia pendengar yang baik, pemberi nasihat tanpa menggurui, dan pelindung yang setia di tengah badai. Bahkan pendaki dari luar negeri pun tahu nama dan kisahnya.
Salah satu pendaki, Rina Dwi Prayekti, mengenang pertemuannya dengan Mbok Yem tahun lalu. Ia pernah bermimpi melihat Mbok Yem tersenyum sambil memasak. Dan saat mendaki seorang diri, ia disambut pelukan hangat dan kata-kata sederhana yang membekas selamanya: “Jangan menangis, hadapi hidupmu. Kamu kuat.”
Perjuangan Hidup di Atap Jawa Tengah
Tinggal di puncak gunung bukan hal mudah. Tapi Mbok Yem bertahan lebih dari 30 tahun di sana. Ia bahkan memasang panel surya agar warungnya bisa punya televisi, lampu, penanak nasi, dan kulkas. Semua ia lakukan agar pendaki merasa nyaman.
Warung itu adalah simbol ketekunan. Bukti bahwa lokasi terpencil tak menghalangi kehidupan yang layak dan bermartabat.
Dikelilingi Cerita dan Mitos
Setiap Lebaran, momen Mbok Yem turun gunung selalu ditunggu-tunggu. Foto dirinya ditandu jadi viral, seolah menjadi penanda hari raya yang sesungguhnya.
Ada cerita yang mengatakan warung Mbok Yem tak pernah sepi, bahkan di tengah badai dan kabut tebal. Banyak yang percaya warung itu punya “aura” khusus. Sosok Mbok Yem dianggap sebagai penjaga Gunung Lawu. Penghubung antara manusia dan alam.
Pada 2023, saat kebakaran melanda kawasan Lawu, tersiar kabar warung Mbok Yem terbakar. Tapi ternyata, warungnya tetap berdiri utuh. Sebuah keajaiban yang menambah panjang kisah mistis tentang beliau.
Warisan yang Tertinggal
Kini, setelah kepergian Mbok Yem, menyisakan pertanyaan menggantung: siapa yang akan melanjutkan warung legendaris itu?