astakom, Jakarta – Sistem pembayaran digital nasional, QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard), mencetak lonjakan tajam pada kuartal I-2025, yakni mencatat pertumbuhan transaksi hingga 169,1 persen secara tahunan.
Capaian ini tak hanya mencerminkan akselerasi adopsi teknologi dalam negeri, tapi juga mulai menimbulkan kekhawatiran dari para pemain global yang sama-sama menyediakan layanan pembayaran digital.
Baca juga
“Transaksi pembayaran digital melalui QRIS terus meningkat, didukung oleh meningkatnya jumlah pengguna dan merchant,” kata Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo dalam konferensi pers, sebagaimana dikutip astakom.com, Kamis (24/4).
Pertumbuhan QRIS ini turut menopang laju ekonomi digital di Indonesia yang kian masif. BI mencatat, transaksi melalui aplikasi pembayaran digital berbasis internet mobile menyentuh angka 10,76 miliar, atau naik 33,5 persen dibanding tahun sebelumnya.
Deputi Gubernur BI, Filianingsih Hendarta, turut menyoroti lonjakan pengguna yang mencapai 56,3 juta orang, dengan volume transaksi menembus 2,6 miliar.
Nilai total transaksi QRIS pun fantastis, yakni mencapai Rp262,1 triliun. Sebagian besar berasal dari pelaku UMKM yang kini kian terintegrasi dengan ekosistem pembayaran digital nasional.
Namun, di balik euforia pertumbuhan ini, QRIS mulai menarik sorotan dari luar negeri.
Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) menyatakan kekhawatiran terhadap sistem layanan keuangan Indonesia yang dinilai membatasi ruang gerak perusahaan asing seperti Visa dan MasterCard.
Pasalnya, struktur tarif QRIS jauh lebih kompetitif dibanding sistem global. Setelah sebelumnya gratis, sejak 1 Juli 2023, BI mulai mengenakan tarif Merchant Discount Rate (MDR) untuk UMKM sebesar 0,3 persen.
Sebagai perbandingan, layanan Visa dan MasterCard dikenai tarif hingga 2 persen, sementara American Express mencapai 3,25 persen.
Kondisi ini membuat QRIS bukan sekadar alat pembayaran digital, melainkan simbol kemandirian sistem finansial nasional.
QRIS tidak hanya menawarkan efisiensi, namun juga memastikan sirkulasi dana tetap berada di dalam negeri, berbeda dengan sistem asing yang menyedot biaya transaksi ke luar Indonesia.