astakom, Jakarta – Aset kripto, terutama Bitcoin, kembali mencuri perhatian para investor global sebagai alternatif aset lindung nilai (safe haven), menyusul pelemahan signifikan Indeks Dolar Amerika Serikat (DXY), imbas memanasnya perang dagang AS-Tiongkok.
Pasar menganggap kondisi ini sebagai cerminan meningkatnya ketidakpastian ekonomi global, yang mendorong pelaku pasar untuk mencari perlindungan dari fluktuasi nilai mata uang fiat.
Baca juga
Berdasarkan data terbaru dari Tradingview, DXY per hari ini saja, Kamis (17/4), tercatat turun ke kisaran 99,4–99,7. Angka ini menjadi titik terendah dalam hampir tiga tahun terakhir.
Trader dari BitBull menyampaikan, pergerakan DXY yang menurun tajam semakin memperkuat daya tarik aset digital, seperti Bitcoin, Altcoin, maupun aset kripto lainnya. Hal ini selaras dengan kondisi di awal tahun 2023 lalu.
“DXY mengalami penurunan tercepat sejak 2023. Pada awal 2023, Bitcoin dan altcoin bangkit dari posisi terendah pasar tahun 2022, dengan naik lebih dari 200 persen dalam setahun,” kata Trader BitBull, yang dikutip astakom.com dari Coincu, Kamis (17/4).
Selain DXY, kebijakan moneter yang disampaikan Ketua The Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell baru-baru ini juga memicu.
Data terbaru menunjukkan harga Bitcoin saat ini berada di kisaran $84.452 atau sekitar Rp 84,4 juta dengan dominasi pasar sebesar 63,01 persen. Dalam 24 jam terakhir, Bitcoin mencatat kenaikan.
Meskipun sempat mengalami penurunan 13,57 persen dalam 60 hari terakhir, Bitcoin berhasil mencatat kenaikan 0,49 persen dalam 24 jam terakhir.
Volume perdagangan mencapai 29,61 miliar dolar AS, menandakan adanya aktivitas signifikan dari investor, baik ritel maupun institusi.
Andre Dragosch dari Bitwise menambahkan, tren penurunan DXY kemungkinan akan terus berlanjut, hingga membuka peluang bagi penguatan aset digital.
“Ini bukan hanya tentang volatilitas jangka pendek, tapi juga tentang pergeseran struktural dalam preferensi investor global,” katanya.
Seiring kondisi global yang semakin kompleks, kripto tidak lagi hanya dilihat sebagai instrumen spekulatif, tetapi mulai mengambil peran sebagai pelindung nilai, layaknya emas yang kini juga banyak diburu di tengah kondisi global yang tak menentu.(**)