astakom, Jakarta– Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menyelenggarakan Pergelaran Wayang Kulit dengan Lakon “Amartha Binangun” dalam rangka memeriahkan Hari Bhayangkara ke-79 di Lapangan Bhayangkara, Jakarta Selatan, Jumat (4/7) malam. Lakon ini mengandung pesan filosofi tentang pentingnya membangun masyarakat yang tertib, damai, dan sejahtera.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengungkapkan lakon “Amartha Binangun”. Gambaran tentang negara ideal yang makmur dan tertib. Amartha digambarkan sebagai negeri yang damai, hasil buminya melimpah, rakyatnya hidup sejahtera, dan tatanan kehidupannya berjalan secara teratur dan harmonis. Nilai-nilai filosofi inilah yang relevan dengan kondisi masyarakat saat ini, Polri terus berupaya mewujudkan ketertiban dan kesejahteraan sebagai semangat pengabdian untuk masyarakat.
Baca juga
Amartha Binangun: Bangun Negeri, Rawat Nilai
Lakon Amartha Binangun bukan sekadar kisah pewayangan. Ia merupakan alegori tentang negara ideal—di mana pemimpin berlaku bijak, rakyat hidup dalam keteraturan, dan keadilan menjadi landasan hidup bersama. Dalam cerita itu, para Pandawa membangun kembali negeri Amarta dari kehancuran, dengan semangat kebersamaan dan pengabdian.
“Amartha Binangun adalah simbol dari visi Bhayangkara yang melayani, melindungi, dan mengayomi masyarakat demi terwujudnya kehidupan berbangsa yang damai dan beradab,” ungkap Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dalam pernyataannya dikutip astakom.com. Ia menegaskan bahwa pelestarian budaya seperti wayang kulit bukan sekadar simbolik, melainkan bentuk nyata Polri dalam merawat identitas bangsa dan memperkuat kedekatan dengan masyarakat.
Seni yang Menyatukan
Pertunjukan malam itu tidak hanya menghadirkan nostalgia, tetapi juga menyatukan lintas generasi. Pada barisan depan penonton tampak antusias mengikuti kisah Arjuna dan Yudhistira sambil membaca alur cerita lakon, tertawa saat Semar melontarkan guyonan khasnya, dan terdiam ketika sang dalang menyelipkan petuah tentang keadilan, pengabdian, dan makna kepemimpinan. Dalam era yang serba digital, kegiatan ini menjadi pengingat bahwa tradisi lisan dan pertunjukan klasik masih punya tempat dan kekuatan untuk membentuk cara pandang, membangun rasa, dan menanamkan nilai.
Menjadi Bhayangkara yang Berakar
Hari Bhayangkara bukan sekadar peringatan institusional dan seremoni belaka, tapi refleksi tentang peran Polri di tengah masyarakat. Dengan pesan filosofi terhadap hadirnya Bhayangkara yang tak hanya berdiri di garda hukum, tapi juga membangun negeri dengan rasa keadilan, kebersamaan, dan kebudayaan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko, menjelaskan bahwa tema “Amartha Binangun” dipilih karena relevan dengan tantangan zaman saat ini, sekaligus mencerminkan cita-cita Polri dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
“Dengan tema Amartha Binangun, ini secara hikmah dari cerita dimaknai adalah suatu bangsa yang Gemah Ripah Loh Jinawi. Dan kemudian juga tata tentrem kerta raharja, di mana menunjukkan nilai-nilai pada saat ini tentang masyarakat yang tertib, kemudian juga bangsa yang betul-betul gemah ripah, dengan hasil daripada sumber daya serta ketahanan pangan yang handal,” papar Trunoyudo.
Ia menjelaskan, pergelaran budaya seperti wayang kulit menjadi cara Polri berkontribusi melestarikan budaya bangsa di tengah tantangan globalisasi dan perkembangan zaman.
“Tujuannya adalah melestarikan nilai-nilai budaya, salah satunya adalah budaya wayang kulit, yang perlu kita lestarikan. Kita tahu dengan tantangan global, regional, dan disruptif, dan juga memberikan edukasi kepada anak dan cucu bangsa Indonesia seluruhnya bahwa kita memiliki banyak budaya yang perlu dilestarikan sebagai karakter bangsa,” ucapnya.
Pergelaran wayang kulit ini juga menjadi istimewa karena melibatkan empat dalang dari berbagai latar belakang profesi. Mereka adalah Prof. Dr. KPH Yanto SK, Ki Sri Kunchoro (anggota Polri berpangkat Inspektur Dua Polisi), Ki MPP Bayu Aji Pamungkas, dan Ki Harso Widisantoso (personel TNI AL berpangkat Mayor Laut). Sejumlah seniman juga turut tampil, seperti sinden Endah Laras, Dimas Tejo, Gareng Semarang, Elisa Orkarus Alaso, dan Marwoto.
Pergelaran ini disaksikan 2.795 orang, meliputi 1.500 anggota dari 42 komunitas atau paguyuban seluruh Indonesia, 146 tamu VIP, 446 undangan umum, 150 personel TNI, 500 personel Polri, dan 50 perwakilan Kejaksaan.